Wajah Muram Rakyat Myanmar Diimpit Kudeta dan Covid-19
Rakyat Myanmar
Gambar : Penanganan jenazah pasien Covid-19 di Myanmar. (AFP/YE AUNG THU)
CNN Indonesia | Jumat, 23/07/2021 05:26 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Upaya penanganan pandemi Covid-19 di Myanmar semakin tidak tentu arah. Sistem kesehatan dan rumah sakit di negara itu sudah kewalahan menampung pasien.
Para dokter dan perawat juga menjadi target aparat keamanan junta Myanmar, terutama bagi mereka yang menjadi tokoh penggerak aksi demonstrasi yang menolak kudeta.
Dilansir CNN, sejumlah dokter dan relawan tenaga kesehatan di Myanmar mengatakan kondisi di negara itu semakin tidak menentu di tengah konflik antara kelompok oposisi dan junta. Menurut mereka, rumah sakit yang dikelola militer menolak merawat penduduk yang positif Covid-19 dengan alasan ruang rawat penuh, oksigen habis dan kekurangan tenaga perawat.
Penjualan oksigen medis juga dibatasi. Alhasil, banyak penduduk memilih terpaksa bertahan hidup dan melakukan isolasi mandiri di rumah. Hal itu berbahaya karena tidak tenaga kesehatan yang memantau jika kondisi mereka memburuk.
Dari data Worldometer, jumlah kasus baru Covid-19 di Myanmar pada Rabu (21/7) kemarin mencapai 6.093. Secara keseluruhan kasus Covid-19 di Myanmar menjadi 246.663.
Lihat Juga :
Petugas TPU Myanmar Kewalahan Makamkan Korban Covid-19
Kemudian korban meninggal akibat Covid-19 di Myanmar mencapai 5.814 orang, bertambah pada 247 orang kemarin.
"Ini hanya puncak gunung es. Kami setiap hari melihat kondisi pasien semakin memburuk dan penduduk meninggal setiap hari," kata seorang dokter di Myanmar.
Upaya penanganan Covid-19 di Myanmar sudah berantakan sejak kudeta pada 1 Februari lalu. Mulai saat itu sejumlah tenaga kesehatan ramai-ramai mengundurkan diri dan menolak bekerja di rumah sakit pemerintah sebagai bentuk penolakan terhadap rezim junta.
Penyebaran virus corona varian Delta memperburuk situasi di Myanmar yang sudah kepayahan dan kekurangan obat-obatan serta peralatan medis memadai. Pasokan obat-obatan dari pemerintah juga dibatasi membuat posisi rakyat sipil semakin terjepit.
Kondisi yang menyedihkan itu dialami langsung oleh para relawan yang memberikan bantuan oksigen cuma-cuma bagi para pasien Covid-19. Namun, upaya yang mereka lakukan juga belum mencukupi kebutuhan masyarakat.
"Mereka bilang minta tolong, 'selamatkan kami'. Bagaimana kami bisa menyelamatkan mereka? Saya bukan dokter. Saya cuma bisa memberikan oksigen jika saya punya persediaan. Banyak orang meninggal karena tidak mendapatkan oksigen tepat waktu," kata seorang relawan dengan nama julukan Snowy (25).
Lihat Juga :
Singapura Larang Pendatang Myanmar Akibat Lonjakan Covid-19
Pemerintah junta membatasi penjualan oksigen medis dengan alasan menghindari penimbunan. Lembaga bantuan juga dilarang membeli oksigen itu.
"Pernah saat teman saya antre membeli oksigen, lalu tentara datang dengan truk dan membawa 50 tabung dan mengisi semua tabung itu, kemudian menyuruh semua penduduk pulang," kata Snowy.
Benda-benda seperti konsentrat oksigen, pengukur arus oksigen, ventilator hingga oksimeter juga menjadi buruan penduduk Myanmar di tengah lonjakan Covid-19. Namun, bagi kelompok masyarakat kelas bawah Myanmar untuk saat ini mustahil membeli barang-barang itu karena sulit didapat dan harga pun mahal.
Pemerintah junta membantah mereka menguasai persediaan medis dan oksigen untuk kalangan tertentu di kala pandemi.
Lihat Juga :
Singapura Kecewa ASEAN Lambat Tangani Krisis Myanmar
"Kita mempunyai persediaan oksigen yang cukup. Beberapa pihak mencoba mengambil keuntungan politik dengan cara negatif. Mereka membeli tabung oksigen dan menyebarkan rumor persediaan oksigen menipis," kata Kepala Pemerintah Junta sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing.
Relawan penanganan pasien Covid-19 di Myanmar. (AFP/YE AUNG THU)
Di sisi lain, penduduk membantah klaim pemerintah. Menurut seorang penduduk bernama samaran Kyaw Naing, sembilan anggota keluarganya positif Covid-19 dan sampai saat ini tidak bisa dirawat di rumah sakit.
"Kami melihat pengumuman mereka (tentara) akan berhenti memberikan pasokan oksigen kepada penduduk, dengan alasan oksigen itu ditimbun oleh rumah sakit swasta. Di sisi lain, mereka mengatakan oksigen medis itu untuk kebutuhan rakyat dan rumah sakit umum. Namun, di saat bersamaan pasien Covid-19 justru tidak diterima di rumah sakit umum," kata Kyaw Naing.
Lihat Juga :
Tangan Kanan Suu Kyi Meninggal Covid di Penjara Junta Myanmar
Banyak dari dokter dan perawat diperintahkan untuk bekerja di rumah sakit pemerintah. Namun, para tenaga kesehatan serba salah dan was-was akan keselamatan mereka, terutama dengan ancaman diserang di tengah jalan atau dituduh sebagai antek-antek junta.
"Ada sekitar 240 kasus serangan terhadap fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Pekan lalu, ada sekitar 500 surat perintah penahanan bagi para dokter dan perawat. Kita tidak bisa melawan Covid-19 dan menyerang tenaga kesehatan secara bersamaan," kata Pelapor Khusus Bidang Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Tom Andrews.
Para dokter dan perawat yang menolak bekerja di rumah sakit pemerintah lantas praktik secara sembunyi-sembunyi. Mereka mendirikan jejaring fasilitas kesehatan tersembunyi untuk menangani kasus Covid-19 di tengah masyarakat Myanmar, ketimbang diringkus aparat junta.
Lihat Juga :
Virus Corona Varian Delta Merajalela di Batas China-Myanmar
"Kami mengobati sekitar 150 pasien setiap hari. Lebih dari setengahnya mengalami demam, tidak bisa mencium bau (anosmia) dan mengalami gejala lain Covid-19. Setengah dari pasien kami dalam kondisi akut," kata seorang dokter Myanmar yang enggan menyebutkan identitasnya dan ikut mendirikan klinik rahasia itu.
Dokter itu mengatakan sebelum kudeta dia dan rekan-rekannya dalam jasa kedokteran jarak jauh EZ Care bisa menangani sekitar seribu pasien.
"Kemarin dua pasien saya meninggal saat kami sedang melakukan konsultasi karena kekurangan oksigen. Tanpa oksigen kami tidak berdaya," ujar dokter itu.
Seorang dokter perempuan di Myanmar yang juga enggan diungkap identitasnya menyatakan dia merasa sangat sedih melihat pasiennya meninggal di depan mata saat dia melakukan kunjungan.
"Saya melihat salah satu pasien di rumah dan menyedihkan melihat dia kesulitan bernapas. Dia seperti sedang tenggelam. Dia tidak cukup mendapatkan pasokan oksigen ke paru-paru dan darah. Setelah kunjungan itu saya menerima telepon dan ternyata pasien saya meninggal," kata dokter perempuan itu.
Seorang dokter lain mengatakan penduduk Myanmar panik bukan main karena mereka kesulitan mencari obat-obatan. Alhasil, banyak dari penduduk yang kalap dan tertipu karena ulah pedagang nakal yang mengklaim obat itu manjur buat pasien Covid-19.
(ayp/ayp)