Quo Vadis Standar Nasional Pendidikan?
Pandangan terhadap SNP PP 57/2021
Gambar : Doni Koesoema A. Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Periode 2019 – 2023
Opini KOMPAS, 3 Mei 2021
Quo Vadis Standar Nasional Pendidikan?
Oleh Doni Koesoema A.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP 57) telah mencabut ketentuan PP 19/2005 tentang SNP dan peraturan perubahannya, PP 32/2013 dan PP 13/2015. Hilangnya nomenklatur Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan tidak diaturnya badan baru pengganti yang mengembangkan SNP membuat kita bertanya, quo vadis SNP? Mau dibawa ke mana?
PP 19/2005, PP 32/2013 dan PP 13/2015 memang sudah saatnya direvisi dan merupakan kebutuhan mendesak di tengah dinamika perubahan global yang begitu cepat. Selama ini, perubahan-perubahan atas PP SNP hanya bongkar pasang pasal-pasal terkait implementasi Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional (UN) saja.
Tergesa-gesa
Mencabut PP 19/2005 dan menggantinya dengan PP 57/2021 tentu hal yang lumrah. Namun, munculnya polemik, protes, dan kekagetan-kekagetan masyarakat terhadap isi PP 57 menunjukkan bahwa pembuatan PP 57 ini tergesa-gesa dan tidak disiapkan secara matang.
Dalam penjelasannya ke publik untuk menjawab persoalan hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam kurikulum Pendidikan Tinggi (Dikti), Nadiem menjelaskan alasan utama mengapa terjadi penggantian PP 19 dengan PP 57, yaitu untuk persiapan kebijakan asesmen nasional. Bila persoalannya adalah untuk memberi legitimasi kebijakan asesmen nasional, mengapa bukan pasal-pasal terkait Ujian Nasional (UN) saja yang dihapuskan? Mengapa hal-hal fundamental yang menjadi amanat UU Sisdiknas untuk diatur dalam PP justru dilewatkan, dibiarkan, dan sengaja tidak diatur?
Kebijakan UN dihapuskan. Namun serentak keberadaan BSNP sebagai penyelenggara UN juga dihapuskan. Padahal, menyelenggarakan UN hanyalah tugas tambahan yang tidak ada di amanat UU Sisdiknas. Pemerintah sebenarnya bisa saja menghapus pasal tentang tugas BSNP sebagai penyelenggaran UN, tidak perlu menghapus keberadaan BSNP sebagai badan.
Yang lebih mengherankan, badan dan lembaga yang memiliki nomenklatur juga dihapuskan. Selain BSNP, badan dan lembaga lain yang memiliki nomenklatur juga hilang, seperti Badan Akreditasi Nasional Sekolah Menengah dan Madrasah (BAN S/M), Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini (BAN PAUD), Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF), dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP).
Beberapa jabatan yang memiliki tugas dan fungsi juga hilang, seperti pengawas sekolah untuk pendidikan formal dan penilik sekolah untuk pendidikan nonformal. Lebih lagi, peranan Dewan Pendidikan sebagai fungsi kontrol kebijakan pemerintah yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas untuk diatur dalam PP juga dihapus dan tidak diatur.
Pengabaian amanat
Ada apa di balik pembongkaran besar-besaran ini? Alasan tidak menyebutkan nomenklatur badan dan lembaga untuk menghindari stabilitas yang mematikan dinamika kelincahan dan fleksibilitas kebijakan pendidikan karena tantangan masa depan yang selalu berubah, tentu bisa diterima. Namun, apakah amanat dalam UU Sisdiknas untuk mengatur hal tertentu dalam PP bisa diabaikan?
Keberadaan Dewan Pendidikan, misalnya. Pembentukan Dewan Pendidikan jelas-jelas merupakan amanat dalam UU Sisdiknas. Pasal 56 ayat 2 menyatakan bahwa “Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.”
Ada amanat bahwa ketentuan mengenai pembentukan Dewan Pendidikan dan komite sekolah/madrasah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penggagas UU Sisdiknas tentu memiliki alasan mengapa mereka menghadirkan Dewan Pendidikan. Dewan Pendidikan merupakan fungsi kontrol atas kebijakan Pemerintah oleh masyarakat yang organisasinya tidak mempunyai hubungan hirarkis, sehingga lebih mandiri, independen dan objektif dalam memberikan pertimbangan untuk perbaikan pendidikan. Dewan Pendidikan merupakan fungsi kritis, sekaligus mekanisme kontrol kekuasaan, sekaligus pengarah kebijakan pendidikan.
Hal yang sama juga terjadi pada amanat untuk membentuk sebuah badan yang bertugas mengembangkan SNP. Pada pasal 34 ayat 1 UU Sisdiknas disebutkan bahwa “Pengembangan Standar Nasional Pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu Pendidikan.” UU Sisdiknas jelas mengamanatkan bahwa tentang keberadaan badan ini harus diatur di dalam PP, bukan dalam peraturan Menteri.
Mungkin sebuah kekeliruan menciptakan nomenklatur BSNP di dalam PP 19 sebagai representasi pemenuhan amanat dalam UU Sisdiknas pasal 34 ayat 1 ini. Namun, sengaja tidak mengatur badan yang memiliki tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan dalam PP jelas sebuah kekeliruan, bahkan membahayakan bagi mekanisme cek dan kontrol kebijakan Kementerian. Apalagi langsung memberikan wewenang pendirian badan ini di tangan Menteri.
Visi Standar
Apa visi SNP Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sebagai pihak yang berinisiatif mengusulkan perubahan PP tentang SNP?
Paradigma SNP dalam PP 19 terlihat lebih jelas dan definitif. Ada mekanisme kontrol publik atas kebijakan Kementerian melalui pengawasan oleh Dewan Pendidikan, Komite Sekolah/Madrasah, dan pengembangan SNP oleh badan mandiri dan profesional yang menyelenggarakan tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan. Pengaturan ini dalam PP menunjukkan keterbukaan dan dihargainya prinsip partisipasi dalam masyarakat demokratis untuk memajukan pendidikan nasional.
Pengaturan badan yang menyelenggarakan tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan, merupakan mekanisme demokratis kontrol kekuasaan atas kewenangan Menteri yang bisa saja salah dalam mengambil kebijakan. Bila kewenangan badan yang mandiri dan profesional ini tidak diatur dalam PP, melainkan diserahkan pengaturannya kepada Menteri, maka akan terjadi penumpukan kekuasaan dan kewenangan di tangan Menteri.
Kondisi tidak akan sehat bila semua hal terkait standar dikendalikan oleh Kementerian, yaitu, Kementerian mengembangkan standar, memantau, dan sekaligus melaporkan pencapaian standar nasional pendidikan kepada dirinya sendiri. Mekanisme ini tentu membahayakan masa depan pendidikan karena tidak ada fungsi kritis dari publik dan badan mandiri terhadap efektivitas kebijakan Pemerintah.
Tidak adanya pengaturan dalam PP tentang badan yang memiliki tugas dan fungsi standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan menunjukkan tidak siapnya Kemdikbud dalam mengusulkan perubahan konsep tentang standar nasional. Bahkan, merupakan pengabaian amanat dalam UU Sisdiknas.
Nomenklatur BSNP, BAN S/M, BAN PAUD, BAN PNF dan LPMP, dan Dewan Pendidikan bisa saja dihapus. Namun, ini semua tidak menghapuskan kewajiban mengatur badan yang memiliki tugas dan fungsi seperti BSNP dan Dewan Pendidikan yang merupakan amanat UU Sisdiknas ke dalam PP.
Pendidikan adalah urusan bersama. Elitisme dalam mengelola pendidikan hendaknya dihindarkan. Apalagi memberi kewenangan dalam pengembangan pendidikan pada segelintir orang. Gotong-royong, partisipasi, dan kontrol kekuasaan yang demokratis, memungkinkan inovasi pendidikan berada pada jalur yang benar.
Mekanisme kontrol publik atas kebijakan Kementerian sebagai pelaksana yang wajib memenuhi standar nasional pendidikan harus tetap ada dan diatur dalam PP. Revisi PP 57 terkait hal ini sangatlah mendesak. Bila tidak, saya tidak yakin, pendidikan kita akan maju, sevisioner apapun Menterinya.